Rabu, 13 Maret 2013

DEMOKRASI DAN ILUSI KESEJAHTERAAN


Dwi Rahayu
Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI)
Mahasiswi Universitas Terbuka Surabaya


             Indonesia mendapatkan predikat sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan AS. Oleh sebagian kalangan hal tersebut dianggap sebagai sebuah prestasi yang membanggakan. Namun, prestasi tersebut seolah kontradiktif dengan kondisi yang dialami negeri ini. Status sebagai negara demokratis ternyata tidak sejalan dengan kemiskinan rakyat ini yang makin parah. Dalam sebuah laporan bertajuk “Poverty in Asia and the Pacific: An Update”,Tahun 2011,  ADB melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 43,07 juta jiwa jika menggunakan garis kemiskinan sebesar 1,25 dollar PPP, atau meningkat sebesar 3,31 juta jiwa jika dibandingkan dengan kondisi 2008 (jumlah penduduk miskin sebesar 40,36 juta jiwa). 57,02% pekerja perempuan berpendidikan rendah, dan setiap tahun 2,5 juta orang berangkat menjadi TKW, meninggalkan anak-anak dan keluarganya.
                Lantas, dimanakah prestasi sebagai sebagai negara demokratis berperan?, yang sejak kemerdekaanya Indonesia telah menganut  sistem ini hingga sekarang.  Sejatinya, demokrasi adalah sebuah sistem ideologi bukan hanya sekedar prosedur praktis pemilihan kepala negara, kepala daerah atau anggota legislatif. Demokrasi hakikatnya lahir dari akal manusia, yaitu kedaulatan di tangan rakyat. Sistem demokrasi ini melekat kuat pada sekularisme-kapitalisme. Menegaskan akan hal ini, patut dicermati konsep demokrasi menurut para pemikirnya. Sebut saja Abraham Lincoln, menyebut demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.  Sebutan lain untuk demokrasi adalah sebuah ideologi yang ditata dengan memadukan nilai-nilai liberal: kebebasan individu, persamaan, martabat dan persaudaraan, rule of law serta proses politik yang demokratis  (The International Relation Dictionary,   Jack C. Plano).  Artinya, manusialah sebagai sumber hukum. Manusia (rakyat) berwenang membuat hukum yang akan diterapkan negara. Namun, jauh panggang dari api. Secara historis, ketika demokrasi muncul untuk pertama kalinya yaitu pasca revolusi Perancis, kendali kekuasaan berada di tangan para intelektual dan orang-orang bermodal (borjuis/kapitalis). Pada akhirnya kebijakan negara pun lebih banyak diarahkan untuk kepentingan kelompok tersebut (yaitu para kapitalis).
Pun demikian di Indonesia. Mayoritas kaum Muslim Indonesia ternyata berada dalam posisi tidak beruntung. Seperti negara kapitalis lain, Indonesia pun lebih dikuasai oleh kelompok minoritas, terutama dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan modal (kapital). Pendukung demokrasi sangat bangga dengan menyatakan bahwa dalam demokrasi setiap keputusan yang diambil adalah suara mayoritas rakyat. Namun, kenyataannya tidaklah begitu, para kapitalis mempengaruhi keputusan parlemen dan lahirnya undang-undang. Akibatnya, Demokrasi  melahirkan sistem korup yang berpihak pada pemilik modal bukan rakyat.
Sebagaimana yang kita ketahui, biaya penyelenggaraan pesta demokrasi memakan dana yang amat besar.  Dan hal itu membawa efek berkelanjutan bagi para pemimpin dan orang-orang yang duduk dalam lembaga legislasi hasil pesta demokrasi.  Para pemimpin yang terpilih tentu telah menghabiskan banyak modal untuk kampanye dan sebagainya.  Agar semua biaya itu tertutupi, mereka akhirnya bekerja sama dengan para pemilik modal.  Maka lahirlah berbagai perundang-undangan yang pro kapitalis (pemilik modal).  Suap menyuap di lembaga parlemen pun menjadi hal lumrah dalam sistem demokrasi.  Inilah bentuk perselingkuhan antara elit politik dan pemilik modal.  Elit politik membutuhkan modal dan pemilik modal membutuhkan elit politik . Oleh karena itu, lahirnya kebijakan yang pro pemilik uang (kapitalis) adalah keniscayaan dalam sistem demokrasi (UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Kelistrikan,UU Sumber Daya Air dll). Sementara rakyat kebanyakan hanya gigit jari dan menjadi tumbal atas kecurangan para elitis dan pemilik modal, serta berkubang dalam lingkaran kemiskinan sistemik.
Berikut beberapa bukti mahalnya biaya demokrasi. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, "Minimal biaya yang dikeluarkan seorang calon Rp 20 miliar, akan tetapi untuk daerah yang kaya, biayanya bisa sampai Rp 100 hingga Rp 150 miliar. Kalau ditambah dengan ongkos untuk berperkara di MK, berapa lagi yang harus dicari. (kompas.com, 5/7/2010). Dan selanjutnya, lahirlah para pejabat dengan penghasilan fantastis selama menjadi kepala daerah.  Sebagai contoh, gubernur Provinsi Jawa Barat mendapat “penghasilan” Rp 603 juta dan wakil gubernur Rp 584 juta (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)16/12/2012). Sementara itu, untuk menjadi calon anggota legislatif ‘diwajibkan’ membayar Rp 200-300 juta untuk mendapatkan "kursi jadi", nomor urut satu dan dua. Sedangkan untuk calon anggota DPR harus menyerahkan setoran uang Rp 400 juta.
Melihat sepak terjang demokrasi yang kian memakan korban, rakyat yang memiliki kepekaan mulai merasakan muaknya demokrasi.  The Guardian merujuk  (6/07/2012) laporan Democratic Audid memperingatkan tentang penurunan jangka panjang demokrasi di Inggris. Dalam artikel  British democracy in terminal decline, warns report, disebutkan ada indikasi yang menunjukkan hal itu. Beberapa yang menguatkan hal tersebut, diantaranya; pertama,  menguatnya pengaruh korporasi (perusahaan bisnis). Kedua, politisi yang semakin tidak mewakili konstituennya.  Dan ketiga, semakin menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu bahkan untuk mendiskusikan persoalan-persoalan kekinian sebagai bentuk kekecewaan terhadap demokrasi. 
    Jika demokrasi sudah berada dalam krisis, layakkah dipertahankan? Bahkan diperjuangkan? Sungguh, demokrasi adalah sistem ilusi penuh kedustaan yang tidak mampu memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki. Saatnya berganti pada sistem shahih yang berasal dari Al Khalik. Ketika hak membuat hukum diserahkan kepada yang menciptakan manusia dan alam semesta, tentunya akan compatible dengan ciptaannya, tanpa ada tendensi tertentu. Berbeda dengan demokrasi yang telah menafikan Allah Swt dalam mengatur kehidupan manusia. Patutlah bagi kita untuk merenungkan firman Allah Swt: Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al An’aam: 57).  Maka sudah saatnya kaum muslim mengganti demokrasi dengan sistem Islam; sistem yang menjadikan kedaulatan di tangan Syara’, sistem yang memberikan kekuasaan kepada khalifah yang ditunjuk kaum muslim untuk menjalankan hukum-hukum Syariah, yang akan membawa keadilan dan kesejahteraan seluruh umat, baik muslim maupun non muslim.  Semoga kita semua berkontribusi penuh untuk mewujudkannya. [azf]

0 komentar:

Posting Komentar