Oktavia Nurul Hikmah
Mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Airlangga
Kehidupan tampak sempurna di
hadapanku. Kesempatan kuliah, lingkungan yang aman, dan aktivitas organisasi
yang menyenangkan. Boleh dikatakan biar IP pas-pasan, setidaknya predikatku sebagai aktivis menjadi
nilai lebih. Rapat pagi, siang dan malam. Ikut kongres disana sini. Sibuk
mengajukan proposal sepanjang tahun. Itulah sebagian akivitas yang kulakukan di
kampus selain kuliah.
Liburan tiba. Ini saatnya rehat dari
kepadatan aktivitas. Liburan di rumah lebih menyenangkan. Praktis kehidupan
berubah 180 derajat. Makan, tidur, nonton TV, bantu keluarga, nonton film, dan mengurus kebun.
Kampus tidak masuk dalam list aktivitas sama sekali. Jangan protes Sob, di
kampus toh tidak ada manusia.
Nah, ini saatnya nonton TV. Program
FTV yang ku tonton sedang iklan, jadi channel ku pindah. Wah, pas sedang ada
berita penangkapan remaja umur 17 tahun. Perkara apa pikirku. Ternyata, remaja
SMA ini ditangkap dengan tuduhan pengedaran pil koplo. Dia melakukan hal
tersebut untuk memenuhi nafkah istrinya yang berumur 15 tahun. Mirisnya, dia
mengedarkan pil haram tersebut kepada teman-temannya sesama pelajar.
Astaghfirullah. Asli, aku baru menemui fakta seperti ini.
Usai berita tersebut, disusul dengan
berita penetapan status tersangka bagi Raffi Ahmad. Kamu pasti tahu juga Sob,
kamu kan nggak pernah ketinggalan gosip^_^. Nah, narkoba yang dikonsumsi Raffi
nih jenis baru dan belum masuk dalam perundang-undangan. Jadi, BNN juga
kesulitan ‘menghukumi’ kasus Raffi ini. Sementara jagad artis berlomba
memberikan dukungan, menganggap Raffi sebagai korban.
Aku sebenarnya malas berpikir Sob, kan sedang liburan. Tapi,
melihat kedua berita tersebut membuatku merenung. Aku rasa ada perbedaan
motivasi dari kedua peristiwa tersebut. Yang pertama melakukan aktivitas haram
tesebut karena desakan ekonomi,
terdorong oleh tanggung jawab memenuhi nafkah keluarga dan terbatasnya
kesempatan mencari nafkah halal. Yang kedua, jelas tidak ada masalah secara
ekonomi. Yang terjadi adalah miskin iman dan rusaknya pergaulan. Akibatnya,
ketika ada masalah atau tuntutan pekerjaan yang terlalu berat membuatnya
bepaling pada obat-obatan haram.
Berikutnya yang aneh, aku rasa
kebingungan BNN menghukumi kasus Raffi tidak perlu terjadi. Jika kita hanya
bersandar pada daftar obat-obatan terlarang dalam Undang-Undang memang kemungkinan
lolos hukum akan semakin besar. Karena
faktanya, banyak nama-nama obat-obatan terlarang yang belum terdaftar BNN. Disini, standar Islam cukup jelas dalam
menghukumi hal ini, bahwa segala sesuatu yang memabukkan dan menenangkan
hukumnya haram. Ini tertulis dalam sebuah hadits Nabi SAW. BNN tak perlu
kesulitan dengan standar ini.
Terus terang Sob, aku bingung dengan
negeri ini. Berkoar-koar memerangi narkoba. Tapi di lapangan nol tindakan.
Sempat berdiskusi dengan seorang teman di kampus, dia mengatakan bahwa presiden
baru saja memberi grasi pada seorang terdakwa pengedar narkoba internasional.
Dan ini bukan grasi yang pertama. Padahal, pengguna narkoba negeri ini sudah
mencapai 5 juta orang (Kompas.com). Nah, dimana keseriusan menangani masalah
narkoba jika presiden justru memberi ampunan pada pengedar narkoba kelas berat.
Begitulah hukum jika distandarkan pada akal manusia seperti dalam alam
demokrasi ini, sangat tidak adil. Dalam sistem demokrasi ini pula peluang jual
beli hukum sangat terbuka lebar. Kongkalikong antara penguasa dan penjahat,
maupun penguasa dan pengusaha menjadi sah-sah saja. Ah, sobat, tidakkah kalian
muak dengan kondisi yang sangat menjijikkan ini??
Aku jadi bertanya pula pada diri
sendiri. Benarkah sudah cukup aktivitas yang kulakukan selama ini. Membatasi
pada beragam kesibukan organisasi yang setelah kupikirkan pun jarang yang
membidik macam-macam persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Jika
dilakukan pun, miskin solusi yang mendasar. Jadi, biasanya kami hanya membahas
tema-tema kebidangan sesuai ilmu yang kami pelajari di fakultas masing-masing.
Padahal persoalan narkoba ini misalnya, takkan bisa diselesaikan dari sisi
hukum saja. Karena toh terkait pula dengan ekonomi, budaya, pendidikan, politik
dalam dan luar negeri,dll. Artinya, kita sebagai mahasiswa yang dianugerahi
Allah intelektualitas yang lebih dibandingkan masyarakat harusnya melakukan
pengkajian yang mendalam pula dalam hal ini serta mengajukan solusi mantap yang
menyelesaikan masalah yang kompleks ini.
Aku berpikir lagi, layakkah aku
menganggap diri sebagai aktivis jika ternyata selama ini kiprahku di organisasi
bahkan tidak menyentuh sedikitpun problem yang dihadapi masyarakat. Dan aku
jadi benci pada diri sendiri karena menjadikan kehidupan kampus dan rumah perlu
ada dikotomi. Artinya, seperti yang aku lakukan sekarang. Liburan di rumah
berarti libur pula predikat ‘aktivis’ku. Haha, aku menertawai diri sendiri.
Pada kesadaran yang baru muncul ini, aku setidaknya masih bersyukur. Masih
sempat kesadaran itu muncul, meski terlambat.
Baiklah Sobat, aku mesti memupuk
kesadaran yang baru datang ini. Jika Islam punya jawaban atas persoalan
narkoba, aku yakin Islam juga punya jawaban atas persoalan kehidupan lainnya.
Aku mungkin belum mengerti, karena itu aku harus mengkajiIslam lebih dalam. So,
thanks Raffi atas pembelajaran yag ku dapatkan dari kisahmu. Semoga ini menjadi
pelajaran bagimu, serta menjadi tonggak awal perjuanganku melakukan perubahan
revolusioner dengan Islam. And thanks Sob sudah menyimak ceritaku. Meniru
semangat para Mujahidin Suriah di video yang ku tonton di Youtube, Allohu
Akbar!
0 komentar:
Posting Komentar