Selasa, 05 Februari 2013

Dua Potong Berita, Sepotong Kesadaran

Oktavia Nurul Hikmah
Mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Airlangga


Kehidupan tampak sempurna di hadapanku. Kesempatan kuliah, lingkungan yang aman, dan aktivitas organisasi yang menyenangkan. Boleh dikatakan biar IP pas-pasan,  setidaknya predikatku sebagai aktivis menjadi nilai lebih. Rapat pagi, siang dan malam. Ikut kongres disana sini. Sibuk mengajukan proposal sepanjang tahun. Itulah sebagian akivitas yang kulakukan di kampus selain kuliah.
            Liburan tiba. Ini saatnya rehat dari kepadatan aktivitas. Liburan di rumah lebih menyenangkan. Praktis kehidupan berubah 180 derajat. Makan, tidur, nonton TV, bantu  keluarga, nonton film, dan mengurus kebun. Kampus tidak masuk dalam list aktivitas sama sekali. Jangan protes Sob, di kampus toh tidak ada manusia.
            Nah, ini saatnya nonton TV. Program FTV yang ku tonton sedang iklan, jadi channel ku pindah. Wah, pas sedang ada berita penangkapan remaja umur 17 tahun. Perkara apa pikirku. Ternyata, remaja SMA ini ditangkap dengan tuduhan pengedaran pil koplo. Dia melakukan hal tersebut untuk memenuhi nafkah istrinya yang berumur 15 tahun. Mirisnya, dia mengedarkan pil haram tersebut kepada teman-temannya sesama pelajar. Astaghfirullah. Asli, aku baru menemui fakta seperti ini.
            Usai berita tersebut, disusul dengan berita penetapan status tersangka bagi Raffi Ahmad. Kamu pasti tahu juga Sob, kamu kan nggak pernah ketinggalan gosip^_^. Nah, narkoba yang dikonsumsi Raffi nih jenis baru dan belum masuk dalam perundang-undangan. Jadi, BNN juga kesulitan ‘menghukumi’ kasus Raffi ini. Sementara jagad artis berlomba memberikan dukungan, menganggap Raffi sebagai korban.
            Aku sebenarnya malas  berpikir Sob, kan sedang liburan. Tapi, melihat kedua berita tersebut membuatku merenung. Aku rasa ada perbedaan motivasi dari kedua peristiwa tersebut. Yang pertama melakukan aktivitas haram tesebut  karena desakan ekonomi, terdorong oleh tanggung jawab memenuhi nafkah keluarga dan terbatasnya kesempatan mencari nafkah halal. Yang kedua, jelas tidak ada masalah secara ekonomi. Yang terjadi adalah miskin iman dan rusaknya pergaulan. Akibatnya, ketika ada masalah atau tuntutan pekerjaan yang terlalu berat membuatnya bepaling pada obat-obatan haram.
            Berikutnya yang aneh, aku rasa kebingungan BNN menghukumi kasus Raffi tidak perlu terjadi. Jika kita hanya bersandar pada daftar obat-obatan terlarang dalam Undang-Undang memang kemungkinan lolos hukum  akan semakin besar. Karena faktanya, banyak nama-nama obat-obatan terlarang yang belum terdaftar  BNN. Disini, standar Islam cukup jelas dalam menghukumi hal ini, bahwa segala sesuatu yang memabukkan dan menenangkan hukumnya haram. Ini tertulis dalam sebuah hadits Nabi SAW. BNN tak perlu kesulitan dengan standar ini.
            Terus terang Sob, aku bingung dengan negeri ini. Berkoar-koar memerangi narkoba. Tapi di lapangan nol tindakan. Sempat berdiskusi dengan seorang teman di kampus, dia mengatakan bahwa presiden baru saja memberi grasi pada seorang terdakwa pengedar narkoba internasional. Dan ini bukan grasi yang pertama. Padahal, pengguna narkoba negeri ini sudah mencapai 5 juta orang (Kompas.com). Nah, dimana keseriusan menangani masalah narkoba jika presiden justru memberi ampunan pada pengedar narkoba kelas berat. Begitulah hukum jika distandarkan pada akal manusia seperti dalam alam demokrasi ini, sangat tidak adil. Dalam sistem demokrasi ini pula peluang jual beli hukum sangat terbuka lebar. Kongkalikong antara penguasa dan penjahat, maupun penguasa dan pengusaha menjadi sah-sah saja. Ah, sobat, tidakkah kalian muak dengan kondisi yang sangat menjijikkan ini??
            Aku jadi bertanya pula pada diri sendiri. Benarkah sudah cukup aktivitas yang kulakukan selama ini. Membatasi pada beragam kesibukan organisasi yang setelah kupikirkan pun jarang yang membidik macam-macam persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Jika dilakukan pun, miskin solusi yang mendasar. Jadi, biasanya kami hanya membahas tema-tema kebidangan sesuai ilmu yang kami pelajari di fakultas masing-masing. Padahal persoalan narkoba ini misalnya, takkan bisa diselesaikan dari sisi hukum saja. Karena toh terkait pula dengan ekonomi, budaya, pendidikan, politik dalam dan luar negeri,dll. Artinya, kita sebagai mahasiswa yang dianugerahi Allah intelektualitas yang lebih dibandingkan masyarakat harusnya melakukan pengkajian yang mendalam pula dalam hal ini serta mengajukan solusi mantap yang menyelesaikan masalah yang kompleks ini.
            Aku berpikir lagi, layakkah aku menganggap diri sebagai aktivis jika ternyata selama ini kiprahku di organisasi bahkan tidak menyentuh sedikitpun problem yang dihadapi masyarakat. Dan aku jadi benci pada diri sendiri karena menjadikan kehidupan kampus dan rumah perlu ada dikotomi. Artinya, seperti yang aku lakukan sekarang. Liburan di rumah berarti libur pula predikat ‘aktivis’ku. Haha, aku menertawai diri sendiri. Pada kesadaran yang baru muncul ini, aku setidaknya masih bersyukur. Masih sempat kesadaran itu muncul, meski terlambat.
            Baiklah Sobat, aku mesti memupuk kesadaran yang baru datang ini. Jika Islam punya jawaban atas persoalan narkoba, aku yakin Islam juga punya jawaban atas persoalan kehidupan lainnya. Aku mungkin belum mengerti, karena itu aku harus mengkajiIslam lebih dalam. So, thanks Raffi atas pembelajaran yag ku dapatkan dari kisahmu. Semoga ini menjadi pelajaran bagimu, serta menjadi tonggak awal perjuanganku melakukan perubahan revolusioner dengan Islam. And thanks Sob sudah menyimak ceritaku. Meniru semangat para Mujahidin Suriah di video yang ku tonton di Youtube, Allohu Akbar!  

0 komentar:

Posting Komentar